FAKTOR SOSIAL DALAM AGAMA
Abstrak
Lazimnya, proses modernisasi dan industrialisasi yang tidak lagi bisa
dielakkan di hampir seluruh belahan dunia menyebabkan juga terjadinya gelombang
sekularisasi dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Proses modernisasi dan
industrialisasi membawa serta nilai- nilai rasionalisasi dan pragmatisme yang
oleh banyak orang dianggap berhadap-hadapanlangsung
dengan nilai-nilai agama yang bersifat sakral dan
mengagungkanideal-ideal spiritual.
Namun, apa yang terjadi di
desa Karangbong Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo justru berbeda.
Industrialisasi memang telah merubah wajah desa Karangbong dari masyarakat
agraris tradisional menjadi masyarakat industrial, tapi industrialisasi tidak
serta merta mengikisnilai-nilai spiritual dalam kehidupan masyarakat.
Bahkan, menurut hasil penelitian ini, kehidupan keagamaan masyarakat desa
Karangbong justru mengalami peningkatan. Agama, bagi masyarakat desa
Karangbong, menjadi identitas dan memberikan makna dalam kehidupan mereka yang
justru sangat diperlukan dalam mengarungi kehidupan di era industrial.
Kata Kunci: relijiusitas, industrialisasi,
perubahan sosial
Pendahuluan
Belakangan ini, fenomena
yang menarik untuk diamati adalah terjadinya berbagai perubahan yang begitu
pesat. Perubahan itu menimbulkan kesadaran baru di masyarakat tentang masalah
nilai dan penghayatan terhadap pemahaman, dan kesadaran religi (transenden)
dimana perlunya peninjauan dan penataan kembali nilai-nilai (rearrangement),
baik tata nilai budaya yang berskala lokal, regional, nasional, maupun
internasional.
Arus perubahan masyarakat
juga terjadi di Karangbong Sidoarjo, hal ini terlihat dari perubahan pengamalan
ajaran agama yang mereka lakukan. Persoalan yang menarik perhatian peneliti
untuk mengungkap lebih jauh adalahfaktor-faktor perubahan sosial keagamaan
dan intensitas keberagamaan.
Secara sosiologis, profil
masyarakat Desa Karangbong sama dengan masyarakat desa yang lain. Namun
perubahan dari masyarakat bercorak agraris- tradisional menjadi
masyarakat modernis-industrialis dengan jumlah penduduk yang padat
menyebabkan perubahan di segala lini kehidupan masyarakat, termasuk dalam
pengamalan ajaran agama. Masyarakat Desa Karangbong merespon perubahan sosial
keagamaan itu dengan pemahaman keagamaan yang proporsional.
Dari pendahuluan studi ini
menunjukkan bahwa masyarakat Desa Karangbong Sidoarjo termasuk kategori
masyarakat yang memiliki sensitifitas keagamaan yang tinggi. Seiring dengan
terjadinya perubahan situasi dan kondisi masyarakat, justru masyarakat ini memperlihatkan
kecenderungan keagamaan yang kuat. Artinya, pemahaman dan pengamalan nilai
agama bertambah tinggi.
Fenomena keagamaan
masyarakat Desa Karangbong Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo patut menjadi
objek penelitian karena fenomena yang ada berbeda dengan apa yang selama ini
dikemukakan dalam berbagai hasil penelitian. Dengan demikian diharapkan
hasilnya bisa berguna bagi pembuat kebijakan khususnya dalam bidang keagamaan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini difokuskan
untuk mengkaji persoalan yang terkait dengan intensitas beragama,
mengetahui faktor-faktor penyebab dan latar belakang terjadinya
kesadaran religiusitas pada masyarakat Industri Desa Karangbong Kecamatan
Gedangan Kabupaten Sidoarjo.
Kajian Teori
Dalam bidang agama,
perubahan sosial ikut mempengaruhi kondisi keberagamaan masyarakat yang
ditandai dengan adanya dua gejala yang sangat paradoksal. Di satu sisi,
perubahan sosial itu telah membawa implikasi berupa pereduksian peran dan nilai
agama. Sedangkan pada sisi lain perubahan yang terjadi melahirkan ghirrah (semangat)
keagamaan yang ditandai dengan adanya kecenderungan untuk selalu meningkatkan
intensitas keberagamaan.
Berikut ini akan
dikemukakan kajian teori yang relevan dengan
pembahasan. Kajian-kajian yang dimaksud meliputi dua aspek. Pertama,
konsep tentang perubahan sosial, teori-teori tentang perubahan sosial
dan proses terjadinya perubahan sosial. Kedua, konsep tentang
Agama, fungsi agama dan peran agama dalam kehidupan.
Pendekatan pertama,
menggunakan teori perubahan sosial. Perubahan sebagai fakta sosial dapat
terjadi karena adanya rencana dengan maksud untuk kemajuan dan kebaikan hidup
manusia. Perubahan yang direncanakan merupakan suatu perubahan yang didasarkan
atas pertimbangan dan perhitungan secara matang tentang manfaat tersebut bagi
kehidupan masyarakat. Cepat atau lambatnya perubahan sangat ditentukan oleh
besarnya kemampuan dan tanggung jawab dari pembaharunya. Di samping itu,
terletak pada kesesuaian antara program yang dirancang dengan kebutuhan
masyarakat. Pihak yang menghendaki adanya perubahan disebut dengan “agent
of change”. Ia bertugas sebagai pimpinan dalam mengarahkan suatu perubahan
dan bertanggung jawab dalam mengawasi jalannya perubahan.
Aspek-aspek sosial
yang penting dalam membentuk pola perilaku kehidupan masyarakat adalah
membentuk nilai peradaban yang rasional, adaptasi budaya dan persiapan masa
depan masyarakat. Seorang pembaharu, di samping ia dituntut untuk dapat
beradaptasi dan menyatu dengan masyarakat, juga harus mempunyai tanggung jawab
dan martabat yang luhur demi perbaikan kehidupan masyarakat. Tugas ini nampak
rumit jika dihadapkan dengan masalah yang sifatnya kultural. Karena itu ia
harus memiliki wawasan dan pandangan yang luas.
Sedangkan perubahan alami
adalah perubahan-perubahan yang terjadi secara tidak sengaja atau
terjadi secara otomatis. Perubahan ini dapat berlangsung dengan cepat atau
lambat tergantung pada tingkat keseimbangan kehidupan masyarakat tanpa
dipengaruhi oleh pihak lain. Perubahan yang terjadi secara otomatis membawa
implikasi positif apabila arah dan akibatnya baik bagi masyarakat dan negatif
apabila arah dan akibatnya tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Dalam merespon implikasi
perubahan yang terjadi secara alami para filosof dan sejarawan besar seperti
Arnold Toybee dan Spengler
merekomendasikan bahwa untuk menghadapi persoalan yang semakin rumit,
meluas dan mendalam diperlukan pengembangan tata nilai baru, pandangan
dansikap-sikap baru, cara-cara serta pranata baru.
Pendekatan kedua, bahwa perubahan sosial merupakan perubahan
yang terjadi dalam struktur kehidupan manusia diyakini sebagai suatu peristiwa
yang mempunyai proses atau mekanisme tertentu. Terjadinya proses perubahan
social karena:
a). Kontak dengan budaya lain,
b). Sistem pendidikan formal yang maju,
c). Sikap menghargai basil karya seseorang dan keinginan untuk maju,
d). Toleransi,
Pendekatan ketiga,
industrialisasi dan perubahan social secara umum membuat masyarakat berkembang
secara sekuler. Masyarakat industrialisasi dikenal sangat dinamis karena
menetapkan kemampuan rasio dan semangat individualitas yang tinggi. Dengan
kemampuan rasio dan cara menyikapi realitas sosial dan alam di sekitarnya, maka
ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang pesat. Penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi semakin ditingkatkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi
banyak berpengaruh terhadap cara beradaptasi dan cara pandang masyarakat
terhadap lingkungan fisik serta hubungan kemanusiaan. Tanggapan terhadap masalah
kemanusiaan (dalam masyarakat industrialisasi modern) didasarkan metode
berfikir berdasar penalaran dan rasionalisasi. Karena itu, lingkungan sekuler
berkembang dan bahkan mendesak lingkungan yang sakral. Kecenderungan ini kian
mempersempit dan melemahkan gerak agama.[2]
Namun, bagi Weber,
kalkulabilitas rasional kehidupan modern justru menciptakan ”sangkar
besi” dunia sosial dan dunia pribadinya kian mengecil.
Ilmu pengetahuan tak bisa memberikan
solusi tentang ”what ought to be”. Kondisi masyarakat dunia seperti itu,
kata Weber merupakan ”kekecewaan dunia”.[3] Ukuran
kedewasaan individu modern bukan lagi terletak pada penguasaannya terhadap
adat, namun terhadap ilmu pengetahuan. Industrialisasi merupakan upaya
meningkatkan produktifitas kerja dalam berbagai sektor, termasuk sektor
pertanian dengan menggunakan prinsip rasionalisasi dan efisiensi. Sudah barang
tentu, dalam proses industrialisasi digunakan berbagai teknologi mekanis yang
sarat dengan efisiensi dan efektivitas dalam rangka pencapaian produktifitas.
Akibat yang menyertai proses mekanisasi sudah dapat diduga; perubahan sosial.
Perubahan sosial
masyarakat yang tengah membangun sangat berpengaruh terhadap tingkat
konsumerisme, orientasi sosial, mobilitas sosial, urbanisasi, institusi-institusi sosial-budaya, termasuk
di dalamnya kesakralan agama. Nilai-nilai tradisional semakin
tergeser dan tergantikan dengan nilai-nilaimodern yang tidak saja terbatas
pada kelembagaan formal, namun juga sampai ke institusi informal dan
individual.
Industrialisasi
didefinisikan sebagai proses perkembangan teknologi oleh penggunaan ilmu
pengetahuan terapan, ditandai dengan ekspansi produksibesar-besaran dengan
menggunakan tenaga permesinan, untuk tujuan pasar yang lebih luas bagi barang-barang produsen
maupun konsumen, melalui angkatan kerja yang terspesialisasikan dengan
pembagian kerja, semuanya itu disertai dengan meningkatnya masyarakat
urbanisasi.
Intervensi teknologi dalam
prosesnya telah terbukti mempengaruhi atau mengubah pola-pola institusi
kehidupan masyarakat. Agama ternyata telah berubah menjadi ”musuh” manusia.
Agama yang pada hakikatnya berfungsi menerangi, mengarahkan dan sumber motivasi
bagi manusia justru dipergunakan sebagai alat pembelenggu dan penindasan sifat
kemanusiaan manusia sendiri.
Perubahan masyarakat
adalah proses differensiasi dan spesialisasiinstitusi-institusi sosial
yang ada. Perubahan institusi dalam konteks evolusioner adalah proses
peningkatan differensiasi dan spesialisasi organisasi dengan kapasitas yang
lebih besar sehingga menjadi lebih bebas dan terspesialisasi.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian
menggunakan penelitian kualitatif metode studi kasus (case study), yakni
berusaha untuk mempertahankan kedalaman dan keutuhan dari obyek yang diteliti
dan memiliki watak serta karakteristik yang unik yang memungkinkan peneliti
dapat menemukan inti permasalahan yang diteliti dan dilakukan terhadap kesatuan
sosial tertentu.
Kesatuan yang dimaksudkan
dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Karangbong Kecamatan Gedangan
Kabupaten Sidoarjo, sedangkan unit sosial yang dijadikan sasaran adalah
masyarakat muslim yang melakukan intensitas beragama melalui pengajian
keagamaan yang dilaksanakan di Desa Karangbong. Sebagai penelitian kasus, hasil
penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan di luar komunitas yang diteliti.
Akan tetapi hasilnya dapat digunakan sebagai alat analisa untuk
membaca fenomena-fenomena sosial pada komunitas lain yang memiliki
watak dan karakteristik yang mirip.
Penelitian ini merupakan
penelitian lapangan (field research) dengan menekankan observasi dan
wawancara sebagai metode pengumpulan data.
Juga menggunakan pengamatan berperan serta (participant observation)
dan wawancara mendalam (in-depth interview).[4]
Sebagai penelitian kualitatif,
penelitian ini akan menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau
perilaku yang dapat diamati.
Informan yang diwawancarai
dipilih dengan menggunakan sampling purposive yakni elit atau tokoh agama, data
yang dicari adalah mengenai sikap dan perilaku beragama. Untuk mempertajam
permasalahan tersebut, peneliti mengadakan wawancara langsung dengan masyarakat
setempat untuk mengetahui lebih lanjut faktor-faktor yang menyebebkan
terjadinya perubahan sosial keagamaan dan hal-hal yang
melatarbelakangi terjadinya intensitas beragama.
Wawancara kepada aparat
pemerintah untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kondisi dan
situasi perkembangan Desa Karangbong. Dari aparat pemerintah diharapkan
juga data-data atau dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang
diteliti dan data-data lain yang berkaitan dengan kondisi dan situasi
wilayah penelitian.
Data yang telah terkumpul
dianalisis dengan menggunakan analisa deskriptif untuk menggambarkan lebih jauh
tentang kondisi keberagamaan dan kaitannya
dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Di samping itu analisis juga
dilakukan secara interpretatif guna memahami makna
dan simbol-simbol serta tindakan atau perilaku beragama masyarakat.
Juga analisa hubungan untuk melihat rasionalisasi hubungan antara keyakinan
beragama dengan perubahan sosial keagamaan.
Untuk mensistimatisasi
data yang terkumpul, maka analisa dilakukan
melalui tahapan-tahapan yaitu: reduksi, display dan verifikasi data.
Dalam reduksi data, data atau bahan yang sudah terkumpul, dianalisis, disusun
secara sistematis dan ditonjolkan persoalan-persoalan pokok. Langkah
selanjutnya adalah display data, data yang terkumpul di lapangan disajikan,
ditata sesuai dengan susunannya sehingga mudah dipatok dengan jelas pada saat
interpretasi dilakukan. Agar data menjadi valid dan reliabel maka perlu
diadakan cross check antara informan yang satu dengan yang lain, antara hasil
wawancara dan pengamatan serta dengan data dokumentasi yang ada sehingga
diperoleh esensi jawaban yang sama dari pertanyaan yang sama, kemudian menarik
kesimpulan yang dilanjutkan dengan perincian data baru yang terkait dengan
fokus permasalahan.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini
adalah Desa Karangbong Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo, terletak di
wilayah pedesaan (transisi antara desa dan kota). Pemilihan lokasi ini
didasarkan atas hal-hal sebagai berikut: pertama, wilayah
tersebut pada dasarnya kawasan pedesaan yang bersifat tradisional kemudian
berubah menjadi kawasan industri. Kedua, lokasi tersebut
berpenduduk mayoritas muslim tradisional.
Hasil Penelitian
1.
Pelaksanaan Industrialisasi di Desa
Karangbong
Kepribadian, cara berpikir
dan tingkah laku masyarakat tidak terlepas dari faktor lingkungan yang
mempengaruhinya. Bagi masyarakat yang sedang berkembang, menjadi masyarakat
modern merupakan suatu impian. Modernisasi adalah proses perubahan masyarakat
dan kebudayaan dalam seluruh aspeknya. Masyarakat yang sudah mencapai taraf
industrialisasi dan modern sudah barang tentu akan mengalami perubahan baik
dalam hal perilaku maupun tingkat pendapatan ekonominya.
Industrialisasi masuk di
Desa Karangbong tahun 1993, ada 8 pabrik yang berproduksi.
Adapun faktor-faktor yang mendorong timbulnya industrialisasi didalam
penelitian ini adalah berasal dari program pemerintah sendiri (yang dijelaskan
dalam GBHN 1993-1998), yakni dalam rangka memajukan pembangunan di
bidang ekonomi atau juga rencana induk tata ruang kota, supaya industri merata
di seluruh pelosok bangsa Indonesia baik itu di daerah perkotaan maupun
pedesaan, guna untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
Selain itu, ada beberapa
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan industrialisasi, yakni:
a.
Faktor Kepadatan Penduduk
Dengan pertambahan penduduk yang
sangat tinggi dan cepat, akan mengakibatkan berlimpahnya tenaga kerja. sehingga
akan menimbulkan pengangguran, karena disebabkan ketidakseimbangan antara
tenaga kerja dan lapangan kerja yang tersedia.
b.
Faktor Modernisasi di Bidang Teknologi
Pembangunan industri memberi
kemungkinan akan tersedianya lapangan kerja yang bervariasi sehingga menuntut
keahlian yang pada
dasarnya ditentukan oleh tingkat
pendidikan yang memberi pengetahuan untuk penguasaan dan penggunaan teknologi.
Adapun perubahan-perubahan yang
dapat dirasakan oleh warga Desa Karangbong dengan adanya industrialisasi
adalah:
a)
Perubahan dalam lapangan pekerjaan
Sebelum adanya industrialisasi mata
pencaharian penduduk Desa Karangbong adalah petani. Walaupun ada penduduk yang
bermata pencaharian sebagai pedagang, namun yang diperdagangkan juga
berupa sayur-sayuran, beras, jagung dan rempah-rempah yang
lain. (Wawancara dengan Bapak M. Sholeh, Ketua RT. II Desa Karangbong 3
Desember 2010).
Selain itu terdapat usaha
peternakan yang dilakukan dengan cara sederhana. Ternak dipelihara hanya untuk
menunjang pertanian seperti penyediaan pupuk. Namun akhir-akhir ini
mulai ada beberapa orang yang memelihara (beternak intensif) seperti beternak
itik dan ayam pedaging.
Pekerjaan warga desa
selain sebagai buruh tani juga sebagai tukang batu maupun tukang kayu. Dan ada
juga sebagai guru, Kyai dan pegawai negeri serta pekerjaan lainnya. Di mana
mereka juga memiliki mata pencaharian tambahan seperti dari usaha pertanian
baik sebagai pemilik ataupun penggarap sawah.
Setelah memasuki industri,
tanah untuk lahan persawahan (pertanian) menjadi semakin sempit. Hal tersebut
menjadikan beralihnya mata pencaharian dari bertani menjadi pekerja pabrik.
Selain itu
masyarakat yang mempunyai lahan atau
tanah kosong digunakan untuk rumah sewaan (kos). Toko dan warung makan pun
banyak dibangun untuk memenuhi kebutuhan anak kos.
Setelah adanya industri di
Desa Karangbong, angka pengangguran berkurang, disebabkan hampir semua
masyarakat bekerja, baik sebagai karyawan pabrik ataupun buruh. Kalaupun ada
pengangguran, itu hanya yang berusia lanjut.
b).Perubahan dalam pendidikan
Sebelum adanya industri, pandangan
orang tua terhadap sekolah adalah hanya untuk sekedar membaca dan menulis.
Namun seiring dengan perubahan menjadi kawasan industri pandangan orang tua
terhadap pentingnya pendidikan mulai berubah. (Wawancara dengan Bapak Mahfudh,
Ketua RT. I Desa Karangbong 4 Desember 2010).
2.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya
Perubahan Sosial Keagamaan
Perubahan sosial keagamaan
dalam kehidupan masyarakat modern telah membawa konsekuensi yang sangat
sublimatif dalam kehidupan masyarakat Desa Karangbong Kecamatan Gedangan
Kabupaten Sidoarjo. Perubahan yang terjadi pada masyarakat tersebut ditandai
dengan adanya perubahan dari agraris tradisional ke industrialisasi modern.
Perubahan yang terjadi
juga mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat Desa Karangbong, seperti
pandangan bahwa kebersamaan (egaliter) adalah bagian dari ajaran agama dan
warisan luhur budaya bangsa berubah menjadi masyarakat yang memiliki pola pikir
individualistis, cenderung egoistis dan apatis
terhadap aspek-aspek metafisis.
Kecenderungan ini terjadi
karena adanya imbas dari proses industrialisasi yang menyertai perubahan sosial
masyarakat yang memperlemah fungsi agama dalam dominasi kehidupan masyarakat.
Hal-hal sakral yang dianggap sebagai bagian dari kehidupan masyarakat
tradisional yang berfungsi sebagai faktor sublimasi dan pengokohan eksistensi
dan misi kehidupan manusia yang bersifat luhur berubah dan digantikan
olehhal-hal yang serba rasional, sehingga terjadilah dekonstruksi
transendensi kognisi manusia secara serius.
Sedangkan sektor-sektor masyarakat dan kebudayaan secara rigid
dipisahkan dari supremasi nilai-nilai luhur dan simbol- simbol
religius yang sarat makna, yang mengakibatkan kehidupan kolektif manusia dan
masyarakat menjadi hampa nilai dan makna.
Masyarakat Desa Karangbong
sebagai bagian dari communal society tidak hanya mengalami
metamorfosis dari masyarakat agraris tradisionil menjadi masyarakat modern,
tetapi juga nampak perilaku masyarakatnya semakin pragmatis. Kendatipun
demikian, pola kehidupan masyarakat Desa Karangbong tidak sepenuhnya
mengabaikan hal-hal tradisionil yang bersifat sakral. Artinya
praksisme keagamaan masih mewarnai perilaku masyarakat setempat.
Perubahan sosial keagamaan
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat harus diterima sebagai suatu kondisi
dinamis atau suatu keharusan dalam hidup manusia. Sebagai makhluk yang memiliki
naluri dinamis, kecenderungan untuk selalu tumbuh berkembang dan berubah pasti
ada. Ibarat air bah yang terus mengalir dengan derasnya, manusia terus menerus
berjuang untuk melakukan perubahan menuju kesempurnaan.
Dinamika pemahaman
masyarakat Desa Karangbong terhadap perubahan yang terjadi membuat masyarakat
melakukan konsolidasi dan internalisasi nilai- nilai agama yang pernah
ditanamkan oleh perintis Desa Karangbong.
Dalam kaitannya dengan
pemahaman keagamaan, faktor ini juga menjadi indikasi untuk melihat dan
mengukur bagaimana masyarakat Desa Karangbong
menghadapi hal-hal tersebut sesuai dengan sudut pandangan keagamaan.
Moh. Hanafi (51 tahun) warga Desa Karangbong mengakui bahwa kendatipun
terjadi perubahan sosial, tidak berarti masyarakat Desa Karangbong
mengabaikan hal-hal yang berkaitan dengan
agama. Kewajiban-kewajiban yang digariskan agama tetap menjadi
tradisi bagi masyarakat. Indikasi tersebut dapat dilihat dengan meningkatnya
intensitas beragama masyarakat seperti melakukan kewajiban sholat, dana amalan
yang berkaitan dengan ibadah sosial seperti mengeluarkan sebagian harta untuk pengembangan
sarana ibadah dan lain-lain.(Wawancara 5 Desember 2010).
Faktor imitasi adalah
salah satu penyebab terjadinya perubahan sosial keagamaan masyarakat Desa
Karangbong. Mereka melakukan peniruan terhadap apa yang mereka amati dari
gejala yang ada. Perubahan sosial, misalnya telah menyebabkan masyarakat,
khususnya anak muda meniru trend yang dianggap modern. Termasuk dalam hal
pelaksanaan ajaran agama.
Bu Kamto (45 tahun)
mengakui bahwa meningkatnya intensitas beragama di kalangan masyarakat Desa Karangbong,
khususnya di kalangan remaja tidak lepas dari tiruan. Tetapi hal ini dianggap
sebagai hal yang positif karena dengan adanya kecenderungan seperti ini,
berarti mereka langsung atau tidak langsung telah melakukan upaya preventif
dalam menghindari hal-hal negatif akibat dari perubahan.
Masih dari sumber yang
sama, Bu Kamto (45 tahun) mengatakan bahwa kesadaran masyarakat untuk
meningkatkan pengamalan ajaran agama tidak lepas dari pemahaman individu
terhadap ajaran agama. Kesadaran individu ini muncul berkat adanya pengajian
yang dilakukan secara rutin di Desa Karangbong.
Bapak H. Ridlwan (50
tahun) selaku tutor kelompok pengajian agama di Desa Karangbong mengemukakan
terdapat tiga kelompok pengajian yang sangat intens diikuti
masyarakat. Kelompok-kelompok pengajian tersebut: kelompok Yasinan,
kelompok umum dan kelompok pengajian remaja. (Wawancara 5 Desember 2010).
Kelompok Yasinan adalah
semacam kelompok pengajian untuk melanggengkan tradisi keagamaan yang telah
lama ditekuni masyarakat setempat, kelompok ini pada umumnya diikuti
oleh ibu-ibu dan pelaksanaannya setiap malam Jum'at.
Sedangkan kelompok umum
adalah kelompok pengajian yang diikuti oleh semua warga masyarakat. Dalam
kelompok ini seluruh komponen masyarakat (penduduk asli dan pendatang) berbaur
menjadi satu sehingga sulit dibedakan.
Pengajian ini dilaksanakan
setiap hari mulai dari Senin sampai Sabtu. Sedangkan materi yang dikaji adalah
menyangkut dimensi-dimensi keislaman
seperti tafsir, hadits, fiqih, dan
sebagainya yang dapat memberikan nuansa keagamaan dalam kehidupan masyarakat.
Adapun kelompok remaja
adalah pengajian yang diikuti oleh remaja- remaja Desa Karangbong,
pelaksanannya setiap malam Kamis ba’da Maghrib.
Andi Cahyanto (24 tahun)
dan Farid M. (28 tahun) mengatakan bahwa pengajian ini diarahkan untuk remaja
dengan maksud agar tidak terlena dengan berbagai implikasi negatif dari
perubahan yang terjadi seperti pergaulan bebas dan sebagainya yang kebanyakan
menggerogoti ABG dewasa ini. (Wawancara 6 Desember 2010).
Terlepas dari itu,
kebersamaan masyarakat dalam suasana keagamaan yang kondusif telah melahirkan
kontak sosial yang begitu erat antara penduduk asli dengan pedatang. Masyarakat
pendatang merasa terkontaminasi dengan kebudayaan keagamaan masyarakat lokal.
Nur laili J. (24 tahun)
salah seorang mahasiswi PT. di Sidoarjo yang berdomisili di Desa Karangbong
mengatakan bahwa sebagai pendatang ia merasa senang mengikuti kegiatan
keagamaan yang ada di Desa Karangbong. Hal ini dapat memberikan penyadaran diri
baginya dalam memahami ajaran agama sehingga ia juga sangat intens
melakukan kegiatan-kegiatan yang dianjurkan oleh agama seperti sholat
secara sendiri maupun kolektif. (Wawancara 6 Desember 2010).
Syamsul Hadi (26 tahun)
memberikan penguatan terhadap pernyataan tersebut. Dapat dikatakan bahwa
perubahan sosial dan agama berjalan secara proposionil yang memungkinkan
masyarakat dapat meredam efek negatif dari perubahan kehidupan. (Wawancra 7
Desember 2010).
Dari uraian tersebut di atas dapat
dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
a.
Bahwa perubahan sosial keagamaan (Islam) di Desa Karangbong terjadi sekitar
tahun 2010, seperti dituturkan oleh Bapak H. Ridlwan :
“Sebagai pendatang baru saya masuk
desa ini pada tahun 1984.
Masyarakat di sini mayoritas muslim
tradisional, mereka lebih suka mengidentifikasi sebagai orang NU. Pada tahun
1988 saya bersamateman-teman mengadakan kajian-kajian keagamaan
melalui pendekatan pemahaman dengan pemikiran yang logis terhadap al- Qur’an
danal-Hadits dengan maknanya serta membongkar adanya perbedaan pendapat
terhadap paham-paham keagamaan yang ada”.
b.
Bahwa perubahan di bidang keagamaan yang dimaksud adalah perubahan dalam
pemahaman beragama dan wawasan berpikir sebagian masyarakat muslim Desa
Karangbong. Hal ini seperti dikemukakan oleh Bapak H. Ridlwan bersama Bapak R.
Susanto sebagai
Ta’mir Masjid Desa Karangbong:
“Masyarakat karangbong terkenal sebagai muslim
berpaham NU.
Apa saja yang berasal dari NU dianggap
sebagai suatu yang tidak boleh dibantah, sebaliknya apabila ada pendapat yang
berbeda dengan paham NU tentang masalah agama dianggap sebagai suatu yang harus
ditolak”.
Adapun contoh-contoh tentang perubahan dimaksud dapat dikemukakan
sebagai berikut:
Dulu
|
Sekarang
|
|||
Mereka
menganggap hanya NU yang
|
Anggapan
seperti tersebut di atas dapat
|
|||
benar,
bukan NU berarti bukan Islam
|
dikatakan
sudah tidak ada.
|
|||
Mencari
|
menantu
|
kalau
|
tidak
|
Tidak
membedakan organisasi yang penting
|
seorganisasi
tidak mau
|
Islam
|
|||
Belajar
agama cukup dengan membaca
|
Sudah
membaur jadi satu melalui kajian
|
|||
tanpa
mengkaji maknanya dan kitab-
|
keagamaan
secara kritis dan bermakna serta
|
|||
kitab
kuno sebagai referensinya.
|
pembahasan
mendalam terhadap berbagai
|
|||
perbedaan
paham keagamaan (Islam) yang
|
||||
ada.
|
3.
Latar belakang Terjadinya Kesadaran
Beragama (Religiusitas)
Setelah
mengetahui tahapan-tahapan perubahan sosial beserta implikasinya
terhadap perubahan keagamaan masyarakat Desa Karangbong, pembahasan berikutnya
diarahkan pada temuan penelitian yang berkaitan
dengan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya intensitas
beragama. Permasalahan ini merupakan bagian dari permasalahan sebelumnya.
Seperti diungkapkan dalam
hasil analisa data sebelumnya bahwa perubahan sosial di Desa Karangbong justru
dijadikan sebagai mediator untuk membenahi diri yang ditandai dengan
meningkatnya intensitas beragama.
Kecenderungan masyarakat Desa Karangbong untuk meningkatkan intensitas
beragama, tampaknya telah mentradisi dalam kehidupan mereka, walaupun tidak
semua warga melakukan hal tersebut. Namun, apabila diukur secara kuantitatif,
mayoritas masyarakat Karangbong cenderung untuk mempertahankan tradisi
keagamaan mereka.
Gaya hidup keagamaan masyarakat Desa
Karangbong yang semula
“sami’na wa atha’na” berubah
menjadi kesadaran untuk mengetahui dan memahami aspek-aspek nilai
agama lewat kajian-kajian tentang ibadah-ibadahfardiyah
dan ibadah-ibadah ijtima'iyah dan aspek-aspek mu'amalah
lainnya.
Kesadaran beragama
masyarakat Desa Karangbong ditengah gencarnya perubahan sosial justru sangat
positif bagi wahana konstruktif dan pembentukan kepribadian. Ini berarti
meningkatnya intensitas beragama yang
terjadi pada masyarakat Desa
Karangbong tidak lepas dari pengetahuan mereka terhadap hal-hal yang
intrinsik. Maksudnya, agama memberikan identitas diri terhadap individu
sehingga dengan menyadari identitas itu seseorang akan bersikap dan berperilaku
sebagaimana yang dipahaminya dari ajaran agama.
H. Ridlwan (50 tahun),
selaku pembimbing agama mengatakan individu yang melakukan sholat secara
intensif sekalipun, namun tidak memiliki kepekaan sosial, maka pemahaman
sholatnya masih dipertanyakan.
Pemahaman secara
individual misalnya, dapat dilihat melalui tingginya frekuensi pengamalan
ajaran agama baik yang wajib maupun ibadah-ibadahsunnah. Ini dapat diukur,
misalnya dengan adanya kesadaran kolektif untuk
melakukan hal-hal baik yang menyangkut ibadah, seperti sholat
berjamaah. Sedangkan aspek yang berdimensi sosial seperti kesadaran untuk
melakukan program Jum'at bersih, mengeluarkan zakat maal
dan hal-hal lain yang bersifat sosial (H. Ridlwan). (Wawancara 8
Desember 2010).
Mendukung pernyataan di
atas, Ny. Martinus AM. (42 tahun) ketika diwawancarai penulis pada saat
mengikuti pengajian harian mengatakan bahwa intensitas beragama seperti sholat
berjamaah di masjid disebabkan karena pemahaman agama yang diperolehnya
mengatakan bahwa ganjaran (reward) sholat berjamaah lebih besar daripada
sholat sendiri di rumah.
Ia juga mengakui bahwa hal
ini dilakukan agar memperoleh ketenangan baik secara lahiriah maupun secara
bathiniyah. Secara lahiriah, maksudnya bahwa dengan adanya komunikasi intensif
dengan Sang Khaliq akan memberikan kesejukan dan kedamaian dalam hati.
Sedangkan secara bathiniyah ketenangan itu diperoleh melalui komunikasi yang
intensif tetapi pengaruhnya akan merefleksi kepada kehidupan sosial.
Ny. Martius adalah seorang
mualaf, ia mengakui adanya konflik batin yang dirasakan selama ini. Konflik
tersebut setahap demi setahap menjadi hilang dengan sendirinya melalui
peningkatan intensitas beragama. Dengan menjadi mualaf, ia berharap mendapatkan
ketenangan batin. (Wawancara 9 Desember 2010)
Dari pemaparan di atas,
dapat dipahami bahwa meningkatnya intensitas beragama di Desa Karangbong tidak
lepas dari kesadaran akan makna dan fungsi agama, yaitu fungsi maknawi dan
fungsi identitas. Fungsi maknawi dapat dilihat dari adanya kecenderungan
sebagian masyarakat untuk menemukan kedamaian melalui meningkatkan intensitas
beragama. Agama dalam konteks ini menyajikan dunia kosmos, seperti ketenangan
bathin (kedamaian) dan kematian dipandang sebagai variabel keagamaan yang penuh
dengan makna. Sedangkan fungsi identitas dapat disimak dari kecenderungan
melakukan ibadah-ibadah sosial agar dapat diterima oleh anggota
masyarakat lain sebagai bagian dari kehidupan mereka (tidak teraliensi) sekaligus
menunjukkan identitas
diri sebagai penganut taat seperti kebanyakan orang dalam lingkungan
masyarakat ia tinggal.
Kasus serupa dapat
ditemukan pada informan lain yang berasal dari luar desa (pendatang). Mereka
menjadikan momen ini sebagai wahana yang strategis untuk memperbaiki diri. Bagi
sebagian pendatang yang berdomisili di Desa Karangbong meningkatkan intensitas
beragama merupakan dorongan intrinsik karena rasa ingin menemukan suatu makna
intrinsik yang selama ini terabaikan.
Khumaidi (35 tahun) ketika
diwawancarai mengatakan bahwa ia sadar selama ini sikap dan perilakunya jauh
dari ajaran agama dan nilai-nilai etika. Ia ingin dirinya memiliki
identitas baru sebagai manusia yang baik dan taat beragama. Dengan begitu ia
merasakan fungsi maknawi dari keberagamannya.
Abd. Majid (45 tahun)
mengatakan, kebanyakan pendatang baru mengakui bahwa mereka ingin hidup layak
sebagai manusia yang beragama dengan cara merubah sikap dan perilaku mereka
yang selama ini bertentangan dengan ajaran agama.
Bagi sebagian pendatang, sangat
penting untuk meningkatkan intensitas beragamanya. Hal ini disebabkan untuk
membangun citra diri di tengah lingkungan baru dan juga didorong oleh perasaan
butuh untuk berinteraksi dengan masyarakat setempat, apalagi jika individu itu
berada jauh dari sanak saudara dan keluarga. Seperti yang dialami oleh
Muchtaromah (35 tahun). (Wawancara 10 Desember 2010).
Ia mengatakan bahwa agar
diakui dan diterima oleh masyarakat setempat, ia menunjukkan identitas diri
sebagai warga masyarakat yang baik dan beragama, sehingga masyarakat tidak
beranggapan lain.
Bagi pendatang yang selama
ini mengalami disorganisasi diri, intensitas beragana menjadi moment yang tepat
untuk memperbaiki diri dan mengadakan interaksi sosial dengan penduduk
setempat. Kondisi seperti ini adalah kebutuhan dasar bagi semua manusia, yaitu
kebutuhan akan penghargaan dan keselamatan.
Faktor lain yang mendorong
masyarakat untuk meningkatkan intensitas beragama adalah karena kesadaran
mereka bahwa agama dan seperangkat ajaran yang terkandung di dalamnya harus
diaplikasikan secara intensif. Agama merupakan kebutuhan rohani, landasan
spiritual dan moral yang harus ditingkatkan dan diletakkan di barisan depan
sehingga dapat menuntun segala aktifitas keseharian manusia. Dalam kondisi
kehidupan yang serba pragmatis seperti sekarang ini agama menjadi pedoman yang
mengandung perintah dan larangan yang harus ditaati manusia dalam
mengaktualisasikan kehidupannya sesuai dengan misinya sebagai khalifah dan
hamba Allah.
Beberapa informan: H.
Ridlwan (50), M. Khayyi (48), Ny. Munikah (42) yang diwawancarai penulis
tanggal 13 Desember 2010 menyatakan bahwa meningkatkan intensitas beragama
sangat perlu, hal ini sebagai landasan moral etik dan spiritual yang menjadi
penuntun (pedoman) bagi manusia dalam menjalankan kehidupan yang semakin
kompleks ini.
Dari penuturan di atas
dapat dihayati bahwa meningkatnya intensitas beragama merupakan suatu kebutuhan
psikis yang tidak dapat diabaikan, karena ia mengandung dimensi individu dan
sosial sekaligus. Pemahaman tersebut merupakan cerminan pemahaman mereka atas
agama secara umum dan mendasar.
Artinya, agama yang mereka
wujudkan dalam perilaku kesehariannya mereka pahami sebagai seperangkat aturan
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama
serta manusia dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Ketiganya, dipahami oleh
masyarakat Desa Karangbong sebagai konsep segitiga di mana Tuhan diletakkan dan
dipandang berada di atas puncak yang tinggi karena memiliki kekuatan adidaya.
Sedangkan manusia dengan alam berada dalam garis lurus dan posisi sejajar.
Sebagai sistem keyakinan,
agama diyakini berbeda dengan ideologi- ideologi modern yang digayuti oleh
kebanyakan masyarakat, landasan keyakinan agama adalah yang kudus, berbeda
dengan unsur-unsur lain yang bersifatprofane.
Ajaran agama selalu
diyakini oleh masyarakat Desa Karangbong sebagai suatu yang bersumber dari
wahyu yang mengandung muatan-muatan moral dan etika yang tidak dapat
dilunturkan oleh perubahan situasi dan perkembangan zaman.
Karena itu, tandas M. Alim
(63 tahun) agama menjadi inti dari sistem nilai- nilai yang ada yang menjadi
paradigma dalam hidup manusia, ia (agama) dapat menjadi pendorong dan penggerak
serta pengontrol bagi tindakan anggota masyarakat untuk tetap berjalan sesuai
dengan nilai-nilai dan ajaran agama. (Wawancara 15 Desember 2010).
Hj. Luluk Layyinah (40 th)
seorang guru ngaji mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat desa karangbong
melakukan pengamalan keagamaan yang sangat tinggi. Masyarakat desa karangbong
terutama ibu-ibu, aktif mengajial-Qur’an dan belajar shalat yang
baik, melakukan shadaqoh, melakukan silaturrahmi kepada sesama anggota
pengajian yang kena musibah ataupun sakit. (wawancara 20 Desember 2010).
Hal ini juga dibenarkan
oleh bapak H. Abd. Karim (56 th) bahwa masyarakat desa karangbong sangat aktif
dalam meningkatkan kualitas keagamaan mereka dengan melakukan pengajian rutin,
yasinan dan tahlil. (wawancara 25 Desember 2010).
Dalam kondisi perubahan sosial dan perubahan-perubahan lainnya,
agama tetap menjadi petunjuk, secara langsung atau tidak, ia adalah etos yang
tetap menjadi acuan, pedoman bagi seluruh kegiatan dan berbagai pranata dalam
kehidupan manusia yang akan mempengaruhi dan mengarahkan tindakan dan perilaku
warga masyarakat Desa Karangbong.
Untuk
mengantisipasi hal-hal yang tidak selaras dengan ajaran agama,
masyarakat Desa Karangbong secara terus-menerus diberikan pemahaman
bahkan disiapkan fasilitas seperti yang baru-baru ini didirikan yaitu
Biro Bimbingan dan Pembinaan Agama Islam (BBPAI) yang diharapkan dapat
memberikan nilai tambah bagi peningkatan kesadaran keagamaan masyarakat Desa
Karangbong.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan penelitian ini, ada dua
kesimpulan menarik yang dapat dikemukakan:
1)
Desa Karangbong merupakan suatu kawasan pedesaan yang bercorak tradisionil
yang mengalami perubahan menjadi kawasan perindustrian modern. Perubahan
tersebut membawa implikasi pada perubahansosio-budaya masyarakat setempat.
Dengan sendirinya ikut mempengaruhi perubahan pemahaman
keagamaan. Unsur-unsur budaya lokal yang bernuansa agama mengalami
perubahan yang intens sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan sosial yang
terjadi dengan deras menjadi wahana untuk meningkatkan stamina spiritualitas.
2)
Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya religiusitas adalah
bertemunya tradisi keagamaan dengan perubahan sosial tampaknya menjadi
apresiasi positif bagi masyarakat Desa Karangbong. Agama tetap menjadi wacana
paradigmatik yang tetap eksis bahkan mengalami dinamika. Hal ini ditandai
dengan meningkatnya semangat beragama masyarakat setempat seperti melakukan
kewajiban sholat, puasa, dan sebagainya di tambah
dengan ibadah-ibadah mahdah dan ibadah- ibadah yang bersifat sosial.
Meningkatnya kesadaran beragama masyarakat Desa Karangbong dilatarbelakangi
oleh kesadaran dan pemahaman bahwa agama memberikan identitas diri bagi
masyarakat sehingga masyarakat berperilaku sebagaimana yang mereka pahami
dari ajaran-ajaran agama. Hal lain, disebabkan karena agama memiliki
fungsi maknawi di samping fungsi identitas. Fungsi maknawi yang terkandung
dalam agama dapat melahirkan ketenangan dan kedamaian lahir dan batin yang bisa
dicapai melalui komunikasi vertikal dan horisontal baik
dengan al-Khaliq maupun dengan sesama makhluk lain. Agama, dengan
demikian, merupakan kebutuhan rohani yang memiliki
fungsi penyelamat, landasan spiritual
dan moral yang dapat menuntun segala aktifitas manusia yang meliputi segala
lini kehidupan.
Berdasarkan dua kesimpulan
tersebut penting untuk dipikirkan bersama bagaimana semangat beragama
masyarakat Desa Karangbong yang konstruktif dan positif dapat ditingkatkan
lebih mendalam lagi dengan tetap diiringi kesadaran dan pemahaman yang lebih
tinggi sehingga mengkristal dalam kehidupan yang semakin kompleks.
Karena itu para agen
sosial dan tokoh agama dan pemerintah setempat perlu meningkatkan penghayatan
terhadap nilai-nilaikeagamaan untuk semakin mendorong dan mendukung segala
upaya masyarakat dan generasi muda dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang
dapat melestarikan tradisi keagamaan. Sehingga nilai-nilai agama
semakin mendapat tempat untuk menjadi way of life baik bagi
individu maupun masyarakat.
Pemerintah dan ulama serta
masyarakat perlu menggalakkan kebersamaan dan kerjasama yang terus menerus
untuk melestarikan tradisi keagamaan beserta tranformasinya sehingga tetap
langgeng dari generasi ke generasi. Dengan demikian, agama tidak akan
kehilangan fungsi dan makna di tengah perubahan kehidupan manusia di samping
itu, agama tidak hanya dipandang sebagai kewajiban tetapi juga sebagai
kebutuhan primer.
Daftar Pustaka
ü
Asy’ari, I., 1983, Pangantar Sosiologi, Surabaya: Usaha
Nasional Bella, Robert N., Beyond Believe, New York : Harper &
Row Publisher
ü
Gerth, HH dan Mills, C. Wright, 1960, From Max Weber : Essays in
Sociology.London : Mc Grawhill Comp
ü
Nottingham, Elizabeth K., 1985, Agama dan Masyarakat: Suatu
Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta : CV.Rajawali
ü
Soekanto, Soerjono, 1982, Fungsionalisme Impretive. Jakarta
: Rajawali
ü
Turner, Bryan S., 1974, Sosiologi Islam : Suatu telaah Analisis
Atas Tesis Sosiologi Weber . Jakarta CV. Rajawali
No comments:
Post a Comment