MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM
Sumber Ajaran Islam ( Al- Qur’an, Assunnah, Ijtihad )
Dosen :
Bapak Surya
Hadi Darma
Pemakalah :
JAMALUDIN
STAI DR KHEZ MUTTAQIEN PURWAKARTA
2015
BAB II
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
Al-Qur’an
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepadaNabi MuhammadSAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman
(Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber pertama atau
Asas Pertama Syara'.
Al-Quran merupakan
kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah
diturunkan ke dunia
Dalam upaya memahami isi Al Quran dari waktu ke
waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi
Al-Qur'annamun tidak ada
yang saling bertentangan. Surat yang pertama kali turun adalah surat
al-alaq ayat 1-5.
Al-qur’an dalam segi bahasa (etimologi) terjadi perbedaan, yaitu
al-qur’an yang dibaca.
Fungsi
Al-Qur’an
Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi utama, yakni sebagai hudá (petunjuk), bayyinát (penjelasan) dan furqán (pembeda). Sebagai hudá, artinya Al-Qur’an merupakan aturan yang harus diikuti tanpa tawar menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang tidak mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justeru mengabaikan petunjuk yang ada pada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat ( QS. 13: 37). Petunjuk yang ada pada Al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah bukan cerita yang dibuat-buat (QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk dalam mengelola bumi.
Dengan menggunakan kedua macam hukum secara beriringan yakni hukum alam dan hukum Al-Qur’an, ditujukan antara lain untuk menampakkan kejayaan Islam dan mengalahkan segenap tata aturan ciptaan manusia (liyudlhirah ‘aláddini kullih) sebagaimana ditunjukkan oleh kemenangan negeri Madinah atas negeri Mekah yang Jahiliyah (futuh Mekah). Supaya tujuan itu bisa dicapai maka hukum Allah (Al-Qur’an) harus benar-benar dijadikan undang-undang oleh para khalifah fil ardl dalam mengelola bumi.
Sedangkan Al-Qur’an sebagai bayyinát berfungsi memberikan penjelasan tentang apa-apa yang dipertanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya sebagai bayyinát, Al-Qur'an harus dijadikan rujukan semua peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh membuat aturan sendiri sebab sistem aturan produk akal manusia sering hanya bersifat trial and error.
Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau pembeda antara yang haq dan yang báthill, antara muslim dan luar muslim, antara nilai yang diyakini benar oleh mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufurr.
sering
sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya, akan tetapi walaupun
begitu, pasien tetap percaya bahwa resep itu benar mustahil salah karena
dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah kebenaran otoritas. Demikian
pula dengan Al-Qur’an, ia a adalah resep dari Allah yang sudah pasti benar
mustahil salah karena Allah adalah Maha Benar. Dengan demikian walaupun ada
beberapa ayat Al-Qur;an yang untuk sementara waktu belum dapat difahami oleh
ratio, tak apa tetapi tetap harus dilaksanakan, sebab kalau menunggu
dapat memahaminya secara penuh bisa keburu mati.
Juga obat dari dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter berpesan agar obat tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis, sebab kalau tidak tepat aturan dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak akan sembuh. Demikian pula dengan Al-Quran sebagai obat, tidak selalu harus sejalan dengan perasaan (feeling) kemauan (willing) dan ratio (thinking). Allah menghendaki agar seorang mukmin mengamalkan seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali. Pemilahan dan pemilihan ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan ayat yang lainnya dibiarkan adalah sikap kufur (Nu’minu biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).
Juga obat dari dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter berpesan agar obat tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis, sebab kalau tidak tepat aturan dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak akan sembuh. Demikian pula dengan Al-Quran sebagai obat, tidak selalu harus sejalan dengan perasaan (feeling) kemauan (willing) dan ratio (thinking). Allah menghendaki agar seorang mukmin mengamalkan seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali. Pemilahan dan pemilihan ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan ayat yang lainnya dibiarkan adalah sikap kufur (Nu’minu biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).
- Pengertian Hadis
Perkataan hadis berasal dari
bahasa Arab yang artinya baru, tidak lama, ucapan, jalan, pembicaraan,
dan cerita. Menurut
istilah ahli hadis
yang dimaksud dengan hadis adalah segala berita yang bersumber dari Nabi
Muhammad SAW, berupa ucapan, perbuatan, dan takkir (persetujuan Nabi
SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi SAW. (Syamsuri, 2006: 60)
As-Sunah atau dalam istilah lain
Hadis Nabi, secara istilah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan ,dll-nya. Adapun
arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai
dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syari’.
Alasan mengapa Hadits di jadikan
sumber hukum islam menurut : Hidayatullah.Com–As-Sunah sebagai sumber hukum
Islam kedua setelah Al-Quran, tidak diragukan pengaruhnya di dalam dunia fiqih
Islam, terutama pada masa para imam mujtahid dengan berdirinya
mazhab-mazhab ijtihad. Sebagai masa kejayaan kajian ilmu hukum Islam di
dalam dunia sejarah. Hal semacam ini tidak pernah terjadi pada umat agama lain,
baik di zaman dahulu atau sekarang. Setiap orang yang mendalami mazhab-mazhab
fiqih, maka akan mengetahui betapa besar pengaruh As-Sunah di dalam penetapan
hukum-hukum fiqih.
As-Sunah atau dalam istilah lain
Hadis Nabi, secara terminologi adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan. Adapun arti
kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan
As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syari’.
Hadis Nabi, walaupun dapat
menjadi hujah secara independen (mustaqil), sebagaimana juga Al-Quran, namun
kedua kitab tersebut saling melengkapi dan melegitimasi bahwa keduanya adalah
hujah dan sumber hukum di dalam syari’at Islam.
Macam-macam Hadist(Sunnah)
Sunnah
dibagi menjadi empat macam, yaitu:
· Sunnah qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
· Sunnah
fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
· Sunnah
taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan
ataupun perbuatan orang lain
· Sunnah
hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak
sampai dikerjakan
Berdasarkan
pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits
maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi
dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga
dengan dhaif.
Kedudukan
Hadits
Hadits sebagai sumber hukum syariah, peran utama hadits dalam revitalisasi
syariah adalah menjadi sumber hukum syariah yang kedua setelah al-Qur’an. Dalam
konteks ini perlu ditegaskan dua hal:
Pertama, kehujjahan hadits sebagai sumber hukum syariah. Yang dimaksud dengan
kehujjahan al-hadits (hujjiyah al-hadits), adalah keadaan hadits yang
wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama
dengan al-Qur’an, dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya.
Menurut wahbah Az-Zuhaili, dalam kitabnya ushul al-Fiqh al-Islami, orang
yang pertama kali berpegang dalil-dalil ini, diluar ijma’. adalah Imam
Asy-Syafi’i dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-umm. Dalil-dalil
tersebut ada yang menunjukkan bahwa hadits adalah wahyu sebagaimana al-Qur’an,
dan ada yang menunjukkan wajibnya mengikuti hadits atau As-Sunnah.
Kedua,
kedudukan (al-manzilah) dan fungsi hadits terhadap al-Qur’an. Pada
prinsipnya, fungsi hadits adalah sebagai penjelasan (al-bayyan) dari
al-Qur’an. Itulah yang dimaksud dengan ungkapan As-Sunnah qadhiyah ‘ala
Al-Kitab, yang terkenal di kalangan ulama seperti disebut Imam Asy-Syatibi
dalam kitabnya Al-Muwafaqat juz IV/4. ungkapan itu berarti
As-Sunnah/hadits itu menjadi pemutus atau penentu makna al-Qur’an. Sebab suatu
ayat al-Qur’an dapat mengandung dua kemungkinan makna atau lebih, maka
hadits-lah yang kemudian menentukan satu makna di antara sekian makna yang ada.
Fungsi hadits sebagai penjelasan al-Qur’an didasarkan pada firman Allah swt
(artinya):
‘Dan Kami
turunkan kepadamu [Muhammad] al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl: 44).
Tiada syari’ah tanpa hadits sebagai sumber hukum syari’ah ini sangat strategis
bagi upaya revitalisasi syari’ah. Karena sebagian besar hukum-hukum syariah
bersumber pada hadits. Terlebih lagi, hadits banyak menjadi dalil bagi berbagai
hukum yang berkaitan dengan kehidupan bernegara, misalnya pengaturan hubungan
penguasa dan rakyat, hubungan negara Islam dengan negara lain, struktur
pemerintahan, pengangkatan para gubernur (wali) dan hakim (qadhi),
dan sebagainya. Dan juga berpegang pada hadits atau sunnah rasul saw. terhadap
hal-hal yang tidak dijelaskan al-Qur’an sebagai landasan syari’ah.
Karena kedudukannya sebagai dasar Islam yang kedua sesudah kitab suci
al-Qur’an, maka tidaklah mengherankan kalau Hadits Nabi mendapat perhatian yang
paling besar dikalangan kaum muslimin. Sungguh pun ada larangan Nabi supaya
jangan menuliskan selain dari al-Qur’an, sebagian nanti akan kita terangkan,
untuk menjaga jangan sampai dicampur adukkan dengan kitab suci al-Qur’an itu,
tetapi ada saatnya beliau memberi izin kepada beberapa sahabat yang cukup
berhati-hati untuk mencatatkan hadits-hadits itu.
Dalam kasus al-Qur’an, kita tahu bahwa tidak ada tenggang waktu antara turunnya
wahyu dan penulisannya. Jadi, tidak ada keraguan akan otentisitas
al-Qur’an,
lantaran Nabi sudah menunjuk para pencatatnya sejak turunnya wahyu pertama yang
ditugasi untuk menghimpun dan menuliskannya. Tetapi praktek ini tidak diikuti
dalam kasus hadits, yang mendapat perlakuan berbeda.
Pentingnya hadits dan perananya dalam berbagai masalah politik dan sosial telah
menyebabkan berbagai kelompok memperlihatkan kepekaan tertentu terhadapnya.
Kepekaan ini mengakibatkan tertundanya usaha penulisan hadits, meskipun ada
perintah Nabi untuk melakukan penulisan dan penyebarluasan hadits. Sayangnya,
penundaan ini menciptakan kerumitan bagi generasi berikutnya dalam melakukan
penilaian hadist.
Sudah banyak komentar mengenai Hadits, baik dari kalangan umat Islam maupun non
Islam, baik yang membela maupun yang menyerang dan ingin menghancurkannya.
Semua itu ternyata semakin menambah semaraknya kajian dan minat terhadap bidang
hadits ini.
Yang jelas, terlepas dari semua itu, para ulama’ dari berbagai golongan dan
aliran, hampir tidak ada perbedaan dalam memandang Hadits-hadits Nabi sebagai
dasar dalam Syari’at Islam. Mereka menjadikan Hadits sebagai pedoman dalam
melaksanakan aktivitas di dunia ini, baik yang berkenaan dengan aspek
ibadah maupun mu’amalah dan akhlak. Karena Hadits yang berupa
perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Nabi saw.itu secara rinci telah
menggariskan suatu manhaj bagi kehidupan umat Islam, baik secara
individu, keluarga, masyarakat maupun negara.
Imam asy-Syafi’i di dalam kitabnya ar-Risalah mengemukakan pendapatnya,
yang juga dinukil kembali oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya al-madkhal,
“Sesungguhnya Allah swt. telah menerapkan kedudukan Rasulullah saw.didalam
agama dan menentukan juga kitab sucinya. Allah swt.menjelaskan pula kedudukan
Rasulullah saw. itu terhadap agaman islam, sehingga diketahui kewajiban
menaatinya dan haram bermaksiat kepadanya. Demikian juga allah swt. telah
menjelaskan dengan karunia-Nya, dengan mengiringi iman kepada Rasul-Nya dengan
iman kepada-Nya”. Firman Allah swt (Artinya),
“Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, dan janganlah kamu
mengatakan, ‘Tuhan itu tiga’, berhentilah (dari ucapan itu), (itu) lebih baik
bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai
anak”. (Q.S.
an-Nisa’: 171).
Hadits adalah salah satu wahyu tuhan yang disampaikan Allah kepada Nabi-Nya.
Hadits itu merupakan salah satu sendi atau pokok dari Syari’at Islam. Banyak
ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa hadits ini merupakan salah satu pokok
dari Syari’at Islam. Oleh karenanya hadits itu wajib diikuti sebagiamana
mengikuti al-Qur’an. Demikian pula Allah telah memerintahkan kita untuk
mentaati Rasul sebagaiman mentaati Allah sendiri, baik terhadap
perintah-perintahnya maupun larangannya (Artinya).
“Katakanlah
olehmu Muhammad: Kalau kamu sekalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku,
niscaya Allah akan mencintai kamu serta mengampuni dosa-dosamu”.
Dari ayat-ayat tersebut diatas, jelas bahwa Hadits-hadits Nabi itu kedudukannya
dalam Syariat Islam sama dengan al-Qur’an, artinya wajib diikuti dan diamalkan
sebagaimana al-Qur’an. Dan merupakan hukum kedua setelah al-Qur’an,
sebagai penjelas al-Qur’an yang menjadi hukum utamanya.
Sebagai sumber hukum Islam, hadits memegang peranan penting sebagai penjelas
atas apa yang ada didalam al-Qur’an. Umat Islam tidak akan pernah dapat
menjalankan ketentuan hukum dan cara ibadah tanpa melihat keterangan atau
praktek yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. melalui hadits-hadits-nya. Hadits
sebagaimana kita ketahui sebagai penjelasan al-Qur’an, karena hukum dan
kewajiban yang terdapat dalam al-Qur’an hanya bersifat umum dan global, tidak
rinci.
Rasul
dalam menyampaikan risalah Allah kepada umatnya telah diberikan Allah
sifat-sifat yang luhur dan ilmu yang tinggi, sehingga seluruh tingkah laku dan
ucapannya sesuai dengan kehendak Allah, tidak dengan hawa nafsunya. Sebagaimana
firman Allah swt (Artinya).
“Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapanya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (an-Najm: 3-4)
Kehujjahannya berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, didalam surat an-Nahl dijelaskan
bahwa Rasulullah saw. diberi otoritas oleh Allah subhanahuwata’ala sebagai
mubayyin ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an (Artinya).
“Dan
kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan”. (an-Nahl: 44)
Kehujjahan sunnah berdasarkan Hadits Nabi, orang-orang Islam yang kuat imannya
tidak akan meragukan terhadap kehujjahan sunnah, dan orang yang menerima
al-Qur’an sebagai hujjah, secara otomatis menerima sunnah sebagi hujjah dalam
hukum-hukum Islam. Karena al-Qur’an dan hadits tidak bisa dipisahkan. Barang
siapa yang memisahkan al-Qur’an dengan hadits berarti dia memisahkan Allah dan
Rasul-Nya. Karena Allah swt. dalam al-Qur’an telah mewajibkan semua orang untuk
beriman kepada Rasul-Nya, mengikuti perilakunya, menaati semua perintahnya dan
meniggalkan semua larangannya.
Hadits perintah Rasulullah untuk menyampaikan hadits-haditsnya kepada orang
lain.
“Ya
Allah saksikanlah, maka hendaknya orang yang hadir menyapaikan kepada orang
yang tidak hadir, karena banyak orang yang tidak mendengar langsung lebih
pandai dari orang yang mendengar langsung”. (H.R. Muslim)
Ijtihad
Pengertian ijtihad secara bahasa
atau pengertian menurut bahasa, ijtihad artinya, bersungguh-sungguh menggunakan
tenaga dan pikiran. Sedangkan dalam pengertian secara istilah, ijtihad ialah,
menggunakan pikiran untuk menetapkan hukum atas sesuatu perkara yang dalam al
Qur’an dan Sunnah Rasulullah belum dinyatakan hukumnya. Akan tetapi, pengertian
tersebut sama sekali tidak berarti bahwa dalam Al Qur’an dan Sunnah terdapat
kekurangan, hanya saja manakala beberapa masalah tidak ditetapkan hukumnya.
Menurut pengertian kebahasaan
kata Ijtihad berasal dari bahasa Arab, yang kata kerjanya “jahada”, yang
artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Menurut istilah dalam ilmu fikih,
ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk
menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung du dalam al Qur’an dan
Hadis dengan syarat-syarat tertentu. (Syamsuri, 2006: 62)
Ijtihad menempati kedudukan
sebagai sumber hukum Islam setelah al Qur’an dan Hadis. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan dari mana saja
kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana
saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak
ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara
mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja).
dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.”
Dari ayat tersebut dapat dipahami
bahwa orang yang berada jauh dari Baitullah, apabila hendak mengerjakan sholat
ia dapat mencari dan menentukan arah kiblat saat itu melalui ijtihad dengan
mencurahkan pikirannya berdasarkan tanda-tanda yang ada.
Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu
·Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat.
Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi
Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara
dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama
para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
·Qiyas,yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya.
Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk
membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah
atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23
dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak
diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul
karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
· Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas
lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima
untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu
perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak,
kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad.
Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan
atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di
awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
·Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum.
Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi
kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat
dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
·Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup
jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah
menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya
larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk
tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang
tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
·Istishab,
yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa
lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya,
seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti
ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia
harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
·Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si
pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya
tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual
dan pembeli.
Kedudukan
dan fungsi Ijtihad
Kedudukan ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al – Qur’an dan As-Sunah. Berijtihad itu sangat berguna sekali untuk mendapatkan hukum syara’ yang dalilnya tidak terdapat dalam Al – Qur’an maupun hadits dengan tegas.
Ditinjau dari fungsi ijtihad, ijtihad itu perlu dilaksanakan :
a. Pada suatu peristiwa yang waktunya terbatas, sedangkan hukum syara’ yang mengenai peristiwa sangat diperlukan, dan juga tidak segera ditentukan hukumnya, maka dikhawatirkan kesempatan menentukan hukum itu akan hilang .
b. Pada suatu peristiwa diperlukan hukum syara’ di suatu daerah yang terdapat banyak para ahli ijtihad, sedang waktu peristiwa itu tidak mendesak maka hal yang semacam itu perlu adanya ijtihad, karena dikhawatirkan akan terlepas dari waktu yang ditentukan.
c. Terhadap masalah-masalah yang belum terjadi yang akan kemungkinan nanti akan diminta tentang hukum masalah-masalah tersebut, maka untuk ini diperlukan ijtihad.
Kedudukan ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al – Qur’an dan As-Sunah. Berijtihad itu sangat berguna sekali untuk mendapatkan hukum syara’ yang dalilnya tidak terdapat dalam Al – Qur’an maupun hadits dengan tegas.
Ditinjau dari fungsi ijtihad, ijtihad itu perlu dilaksanakan :
a. Pada suatu peristiwa yang waktunya terbatas, sedangkan hukum syara’ yang mengenai peristiwa sangat diperlukan, dan juga tidak segera ditentukan hukumnya, maka dikhawatirkan kesempatan menentukan hukum itu akan hilang .
b. Pada suatu peristiwa diperlukan hukum syara’ di suatu daerah yang terdapat banyak para ahli ijtihad, sedang waktu peristiwa itu tidak mendesak maka hal yang semacam itu perlu adanya ijtihad, karena dikhawatirkan akan terlepas dari waktu yang ditentukan.
c. Terhadap masalah-masalah yang belum terjadi yang akan kemungkinan nanti akan diminta tentang hukum masalah-masalah tersebut, maka untuk ini diperlukan ijtihad.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
PENUTUP
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sumber ajaran islam ada
tiga macam, yaitu Al-qur’an, hadits dan ijtihad. Al-qur’n sebagai sumber
hukum Islam yang pertama yaitu Al-qu’an berisi tentang semua kehidupan yang ada
di alam, perintah, akidah dan kepercayaan, akhlak yang murni, mengenai syari’at
dan hukum dan sebagai petunjuk umat Islam. Sedangkan Hadits itu sebagai sumber
ajaran islam karena dalam Dalil al-qur’an mengajarkan kita untuk mempercayai
dan menerima apa yang telah disampaikan oleh Rasul untu dijadikan sebagai
pedoman hidup. Selain itu dalam hadits juga terdapat pertnyataan bahwa
berpedoman pada hadits itu wajib, bahkan juga terdapat dalam salah satu pesan
Rasulullah berkenaan menjadikan hadist sebagai pedoman hidup setelah Al-qur’an
sebagai sumber yang pertama. Ijtihad sebagai sumber ajaran karena melalui
konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan didapatkan ketentuan hukumnya Dari
pemaparan makalah kami tersebut kita tahu bahwa sumber ajaran islam sangat
penting sebagai pedoman hidup, untuk itu hendaknya apabila kita melenceng dari
salah satu sumber ajaran tersebut, maka akan menjadikan hal yang fatal.
Daftar Pustaka
Amin, Muhammad Suma. Ulumul Qur’an.
Jakarta: Rajawali, 2013
Didik ahmad supadi dan sarjuni, Pengantar
studi Islam, Semarang: Rajawali Pers, 2011
Mahfud, Rois. Al-Islam PendidikanAgama Islam, Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2011
Muhaimin, dkk. Studi
Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, Jakarta: kencana, 2012
Musahadi HAM, Evolusi
Konsep Sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000
Nata, Abuddin. Studi Islam komperehensif, Jakarta: Kencana
2011
No comments:
Post a Comment