Friday, October 23, 2015

METODOLOGI STUDY ISLAM

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepadaNabi MuhammadSAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama Syara'.Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia
Dalam upaya memahami isi Al Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'annamun tidak ada yang saling bertentangan. Surat yang pertama kali turun adalah surat al-alaq ayat 1-5. Al-qur’an dalam segi bahasa (etimologi) terjadi perbedaan, yaitu al-qur’an yang dibaca.
B.     Fungsi  Al-Qur’an
Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi utama, yakni  sebagai hudá (petunjuk), bayyinát (penjelasan) dan furqán (pembeda). Sebagai  hudá, artinya Al-Qur’an merupakan  aturan yang harus diikuti  tanpa tawar menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang tidak mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justeru mengabaikan petunjuk yang ada pada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat ( QS. 13: 37). Petunjuk yang ada pada Al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah  bukan  cerita yang dibuat-buat (QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk dalam mengelola bumi.
Dengan menggunakan kedua macam hukum secara beriringan  yakni hukum alam  dan hukum Al-Qur’an, ditujukan antara lain untuk  menampakkan kejayaan Islam dan mengalahkan segenap tata aturan ciptaan manusia (liyudlhirah ‘aláddini  kullih) sebagaimana ditunjukkan oleh kemenangan negeri Madinah atas negeri Mekah yang Jahiliyah (futuh Mekah). Supaya tujuan itu bisa dicapai maka hukum Allah (Al-Qur’an) harus benar-benar dijadikan undang-undang oleh para khalifah fil ardl dalam mengelola bumi.
Sedangkan Al-Qur’an sebagai bayyinát berfungsi  memberikan penjelasan tentang  apa-apa  yang dipertanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya sebagai  bayyinát, Al-Qur'an  harus



dijadikan rujukan semua peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh membuat aturan sendiri sebab sistem aturan produk akal manusia sering hanya bersifat  trial and error.
Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau  pembeda antara yang haq  dan yang báthill,  antara muslim dan luar muslim, antara nilai yang diyakini benar oleh mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufur.
sering sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya, akan  tetapi walaupun begitu,  pasien tetap percaya bahwa resep itu benar mustahil salah karena dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah kebenaran otoritas.  Demikian pula dengan Al-Qur’an, ia a adalah resep dari Allah yang sudah pasti benar mustahil salah karena Allah adalah Maha Benar. Dengan demikian walaupun ada beberapa ayat Al-Qur;an yang untuk sementara waktu belum dapat difahami oleh ratio, tak apa tetapi tetap harus dilaksanakan, sebab  kalau menunggu dapat memahaminya secara penuh bisa  keburu mati.
Juga obat dari dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter berpesan agar obat tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis, sebab kalau tidak tepat aturan dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak akan sembuh. Demikian pula dengan Al-Quran sebagai obat, tidak selalu harus sejalan dengan perasaan (feeling) kemauan (willing) dan ratio (thinking). Allah menghendaki agar seorang mukmin mengamalkan seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali. Pemilahan dan pemilihan ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan ayat yang lainnya dibiarkan adalah sikap kufur (Nu’minu biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).
C.     Pengertian Hadis
Perkataan hadis berasal dari bahasa Arab yang artinya baru, tidak lama, ucapan, jalan, pembicaraan, dan cerita. Menurut istilah ahli hadis yang dimaksud dengan hadis adalah segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, berupa ucapan, perbuatan, dan takkir (persetujuan Nabi SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi SAW. (Syamsuri, 2006: 60)
As-Sunah atau dalam istilah lain Hadis Nabi, secara istilah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan ,dll-nya. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syari’.
Alasan mengapa Hadits di jadikan sumber hukum islam menurut : Hidayatullah.Com–As-Sunah sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran, tidak diragukan pengaruhnya di dalam dunia fiqih Islam, terutama  pada masa para imam mujtahid dengan berdirinya mazhab-mazhab ijtihad. Sebagai masa  kejayaan kajian ilmu hukum Islam di dalam dunia sejarah. Hal semacam ini tidak pernah terjadi pada umat agama lain, baik di zaman dahulu atau sekarang. Setiap orang yang mendalami mazhab-mazhab fiqih, maka akan mengetahui betapa besar pengaruh As-Sunah di dalam penetapan hukum-hukum fiqih.
As-Sunah atau dalam istilah lain Hadis Nabi, secara terminologi adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syari’.
Hadis Nabi, walaupun dapat menjadi hujah secara independen (mustaqil), sebagaimana juga Al-Quran, namun kedua kitab tersebut saling melengkapi dan melegitimasi bahwa keduanya adalah hujah dan sumber hukum di dalam syari’at Islam.
D.    Macam-macam Hadist(Sunnah)
Sunnah dibagi menjadi empat macam, yaitu:
Sunnah qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
Sunnah fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
Sunnah taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang lain
Sunnah hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan
Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif.


E.     Kedudukan Hadits
            Hadits sebagai sumber hukum syariah, peran utama hadits dalam revitalisasi syariah adalah menjadi sumber hukum syariah yang kedua setelah al-Qur’an. Dalam konteks ini perlu ditegaskan dua hal:
            Pertama, kehujjahan hadits sebagai sumber hukum syariah. Yang dimaksud dengan kehujjahan al-hadits (hujjiyah al-hadits), adalah keadaan hadits yang wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan al-Qur’an, dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Menurut wahbah Az-Zuhaili, dalam kitabnya ushul al-Fiqh al-Islami, orang yang pertama kali berpegang dalil-dalil ini, diluar ijma’. adalah Imam Asy-Syafi’i dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-umm. Dalil-dalil tersebut ada yang menunjukkan bahwa hadits adalah wahyu sebagaimana al-Qur’an, dan ada yang menunjukkan wajibnya mengikuti hadits atau As-Sunnah.
Kedua, kedudukan (al-manzilah) dan fungsi hadits terhadap al-Qur’an. Pada prinsipnya, fungsi hadits adalah sebagai penjelasan (al-bayyan) dari al-Qur’an. Itulah yang dimaksud dengan ungkapan As-Sunnah qadhiyah ‘ala Al-Kitab, yang terkenal di kalangan ulama seperti disebut Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat juz IV/4. ungkapan itu berarti As-Sunnah/hadits itu menjadi pemutus atau penentu makna al-Qur’an. Sebab suatu ayat al-Qur’an dapat mengandung dua kemungkinan makna atau lebih, maka hadits-lah yang kemudian menentukan satu makna di antara sekian makna yang ada. Fungsi hadits sebagai penjelasan al-Qur’an didasarkan pada firman Allah swt (artinya):
‘Dan Kami turunkan kepadamu [Muhammad] al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl: 44).
            Tiada syari’ah tanpa hadits sebagai sumber hukum syari’ah ini sangat strategis bagi upaya revitalisasi syari’ah. Karena sebagian besar hukum-hukum syariah bersumber pada hadits. Terlebih lagi, hadits banyak menjadi dalil bagi berbagai hukum yang berkaitan dengan kehidupan bernegara, misalnya pengaturan hubungan penguasa dan rakyat, hubungan negara Islam dengan negara lain, struktur pemerintahan, pengangkatan para gubernur (wali) dan hakim (qadhi), dan sebagainya. Dan juga berpegang pada hadits atau sunnah rasul saw. terhadap hal-hal yang tidak dijelaskan al-Qur’an sebagai landasan syari’ah.
            Karena kedudukannya sebagai dasar Islam yang kedua sesudah kitab suci al-Qur’an, maka tidaklah mengherankan kalau Hadits Nabi mendapat perhatian yang paling besar dikalangan kaum muslimin. Sungguh pun ada larangan Nabi supaya jangan menuliskan selain dari al-Qur’an, sebagian nanti akan kita terangkan, untuk menjaga jangan sampai dicampur adukkan dengan kitab suci al-Qur’an itu, tetapi ada saatnya beliau memberi izin kepada beberapa sahabat yang cukup berhati-hati untuk mencatatkan hadits-hadits itu.
            Dalam kasus al-Qur’an, kita tahu bahwa tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dan penulisannya. Jadi, tidak ada keraguan akan otentisitas
al-Qur’an, lantaran Nabi sudah menunjuk para pencatatnya sejak turunnya wahyu pertama yang ditugasi untuk menghimpun dan menuliskannya. Tetapi praktek ini tidak diikuti dalam kasus hadits, yang mendapat perlakuan berbeda.
            Pentingnya hadits dan perananya dalam berbagai masalah politik dan sosial telah menyebabkan berbagai kelompok memperlihatkan kepekaan tertentu terhadapnya. Kepekaan ini mengakibatkan tertundanya usaha penulisan hadits, meskipun ada perintah Nabi untuk melakukan penulisan dan penyebarluasan hadits. Sayangnya, penundaan ini menciptakan kerumitan bagi generasi berikutnya dalam melakukan penilaian hadist.
Sudah banyak komentar mengenai Hadits, baik dari kalangan umat Islam maupun non Islam, baik yang membela maupun yang menyerang dan ingin menghancurkannya. Semua itu ternyata semakin menambah semaraknya kajian dan minat terhadap bidang hadits ini.
            Yang jelas, terlepas dari semua itu, para ulama’ dari berbagai golongan dan aliran, hampir tidak ada perbedaan dalam memandang Hadits-hadits Nabi sebagai dasar dalam Syari’at Islam. Mereka menjadikan Hadits sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas di dunia ini, baik yang berkenaan  dengan aspek ibadah maupun mu’amalah dan akhlak. Karena Hadits yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Nabi saw.itu secara rinci telah menggariskan suatu manhaj bagi kehidupan umat Islam, baik secara individu, keluarga, masyarakat maupun negara.
            Imam asy-Syafi’i di dalam kitabnya ar-Risalah mengemukakan pendapatnya, yang juga dinukil kembali oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya al-madkhal, “Sesungguhnya Allah swt. telah menerapkan kedudukan Rasulullah saw.didalam agama dan menentukan juga kitab sucinya. Allah swt.menjelaskan pula kedudukan Rasulullah saw. itu terhadap agaman islam, sehingga diketahui kewajiban menaatinya dan haram bermaksiat kepadanya. Demikian juga allah swt. telah menjelaskan dengan karunia-Nya, dengan mengiringi iman kepada Rasul-Nya dengan iman kepada-Nya”. Firman Allah swt (Artinya),
“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, dan janganlah kamu mengatakan, ‘Tuhan itu tiga’, berhentilah (dari ucapan itu), (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak”. (Q.S. an-Nisa’: 171).
            Hadits adalah salah satu wahyu tuhan yang disampaikan Allah kepada Nabi-Nya. Hadits itu merupakan salah satu sendi atau pokok dari Syari’at Islam. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa hadits ini merupakan salah satu pokok dari Syari’at Islam. Oleh karenanya hadits itu wajib diikuti sebagiamana mengikuti al-Qur’an. Demikian pula Allah telah memerintahkan kita untuk mentaati Rasul sebagaiman mentaati Allah sendiri, baik terhadap perintah-perintahnya maupun larangannya (Artinya).
 “Katakanlah olehmu Muhammad: Kalau kamu sekalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kamu serta mengampuni dosa-dosamu”.
            Dari ayat-ayat tersebut diatas, jelas bahwa Hadits-hadits Nabi itu kedudukannya dalam Syariat Islam sama dengan al-Qur’an, artinya wajib diikuti dan diamalkan sebagaimana al-Qur’an. Dan  merupakan hukum kedua setelah al-Qur’an, sebagai penjelas al-Qur’an yang menjadi hukum utamanya.
            Sebagai sumber hukum Islam, hadits memegang peranan penting sebagai penjelas atas apa yang ada didalam al-Qur’an. Umat Islam tidak akan pernah dapat menjalankan ketentuan hukum dan cara ibadah tanpa melihat keterangan atau praktek yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. melalui hadits-hadits-nya. Hadits sebagaimana kita ketahui sebagai penjelasan al-Qur’an, karena hukum dan kewajiban yang terdapat dalam al-Qur’an hanya bersifat umum dan global, tidak rinci.
Rasul dalam menyampaikan risalah Allah kepada umatnya telah diberikan Allah sifat-sifat yang luhur dan ilmu yang tinggi, sehingga seluruh tingkah laku dan ucapannya sesuai dengan kehendak Allah, tidak dengan hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah swt (Artinya).
 “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapanya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (an-Najm: 3-4)
            Kehujjahannya berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, didalam surat an-Nahl dijelaskan bahwa Rasulullah saw. diberi otoritas oleh Allah subhanahuwata’ala sebagai mubayyin ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an (Artinya).
 “Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan”. (an-Nahl: 44)
            Kehujjahan sunnah berdasarkan Hadits Nabi, orang-orang Islam yang kuat imannya tidak akan meragukan terhadap kehujjahan sunnah, dan orang yang menerima al-Qur’an sebagai hujjah, secara otomatis menerima sunnah sebagi hujjah dalam hukum-hukum Islam. Karena al-Qur’an dan hadits tidak bisa dipisahkan. Barang siapa yang memisahkan al-Qur’an dengan hadits berarti dia memisahkan Allah dan Rasul-Nya. Karena Allah swt. dalam al-Qur’an telah mewajibkan semua orang untuk beriman kepada Rasul-Nya, mengikuti perilakunya, menaati semua perintahnya dan meniggalkan semua larangannya.
            Hadits perintah Rasulullah untuk menyampaikan hadits-haditsnya kepada orang lain.
 “Ya Allah saksikanlah, maka hendaknya orang yang hadir menyapaikan kepada orang yang tidak hadir, karena banyak orang yang tidak mendengar langsung lebih pandai dari orang yang mendengar langsung”. (H.R. Muslim)
F.  Ijtihad
Pengertian ijtihad secara bahasa atau pengertian menurut bahasa, ijtihad artinya, bersungguh-sungguh menggunakan tenaga dan pikiran. Sedangkan dalam pengertian secara istilah, ijtihad ialah, menggunakan pikiran untuk menetapkan hukum atas sesuatu perkara yang dalam al Qur’an dan Sunnah Rasulullah belum dinyatakan hukumnya. Akan tetapi, pengertian tersebut sama sekali tidak berarti bahwa dalam Al Qur’an dan Sunnah terdapat kekurangan, hanya saja manakala beberapa masalah tidak ditetapkan hukumnya.
Menurut pengertian kebahasaan kata Ijtihad berasal dari bahasa Arab, yang kata kerjanya “jahada”, yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Menurut istilah dalam ilmu fikih, ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung du dalam al Qur’an dan Hadis dengan syarat-syarat tertentu. (Syamsuri, 2006: 62)
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al Qur’an dan Hadis. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.”
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Baitullah, apabila hendak mengerjakan sholat ia dapat mencari dan menentukan arah kiblat saat itu melalui ijtihad dengan mencurahkan pikirannya berdasarkan tanda-tanda yang ada.

G.    Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu
•Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
•Qiyas,yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
• Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
•Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
•Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
•Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
•Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
Kedudukan dan fungsi Ijtihad
Kedudukan ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al – Qur’an dan As-Sunah. Berijtihad itu sangat berguna sekali untuk mendapatkan hukum syara’ yang dalilnya tidak terdapat dalam Al – Qur’an maupun hadits dengan tegas.

Ditinjau dari fungsi ijtihad, ijtihad itu perlu dilaksanakan :
a. Pada suatu peristiwa yang waktunya terbatas, sedangkan hukum syara’ yang mengenai peristiwa sangat diperlukan, dan juga tidak segera ditentukan hukumnya, maka dikhawatirkan kesempatan menentukan hukum itu akan hilang .
b. Pada suatu peristiwa diperlukan hukum syara’ di suatu daerah yang terdapat banyak para ahli ijtihad, sedang waktu peristiwa itu tidak mendesak maka hal yang semacam itu perlu adanya ijtihad, karena dikhawatirkan akan terlepas dari waktu yang ditentukan.
c. Terhadap masalah-masalah yang belum terjadi yang akan kemungkinan nanti akan diminta tentang hukum masalah-masalah tersebut, maka untuk ini diperlukan ijtihad.





























BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan         
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sumber ajaran islam ada tiga macam, yaitu Al-qur’an, hadits dan ijtihad.  Al-qur’n sebagai sumber hukum Islam yang pertama yaitu Al-qu’an berisi tentang semua kehidupan yang ada di alam, perintah, akidah dan kepercayaan, akhlak yang murni, mengenai syari’at dan hukum dan sebagai petunjuk umat Islam. Sedangkan Hadits itu sebagai sumber ajaran islam karena dalam Dalil al-qur’an mengajarkan kita untuk mempercayai dan menerima apa yang telah disampaikan oleh Rasul untu dijadikan sebagai pedoman hidup. Selain itu dalam hadits juga terdapat pertnyataan bahwa berpedoman pada hadits itu wajib, bahkan juga terdapat dalam salah satu pesan Rasulullah berkenaan menjadikan hadist sebagai pedoman hidup setelah Al-qur’an sebagai sumber yang pertama. Ijtihad sebagai sumber ajaran karena melalui konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan didapatkan ketentuan hukumnya Dari pemaparan makalah kami tersebut kita tahu bahwa sumber ajaran islam sangat penting sebagai pedoman hidup, untuk itu hendaknya apabila kita melenceng dari salah satu sumber ajaran tersebut, maka akan menjadikan hal yang fatal.

Daftar Pustaka

Amin, Muhammad Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali, 2013
Didik ahmad supadi dan sarjuni, Pengantar studi Islam, Semarang: Rajawali Pers, 2011
Mahfud, Rois. Al-Islam PendidikanAgama Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011
Muhaimin, dkk. Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, Jakarta: kencana, 2012
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000

Nata, Abuddin. Studi Islam komperehensif, Jakarta: Kencana 2011

No comments:

Post a Comment