BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang
diturunkan kepadaNabi MuhammadSAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia
hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut
sumber pertama atau Asas Pertama Syara'.Al-Quran merupakan kitab suci terakhir
yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia
Dalam upaya memahami isi Al Quran dari waktu ke waktu telah berkembang
tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'annamun tidak ada yang saling bertentangan.
Surat yang pertama kali turun adalah surat al-alaq ayat 1-5. Al-qur’an dalam
segi bahasa (etimologi) terjadi perbedaan, yaitu al-qur’an yang dibaca.
B.
Fungsi Al-Qur’an
Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi
utama, yakni sebagai hudá (petunjuk),
bayyinát (penjelasan) dan furqán (pembeda). Sebagai hudá, artinya Al-Qur’an merupakan aturan yang harus diikuti tanpa tawar menawar sebagaimana papan
petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang tidak
mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justeru mengabaikan petunjuk yang ada
pada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat ( QS. 13: 37). Petunjuk yang
ada pada Al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah bukan
cerita yang dibuat-buat (QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi
rujukan termasuk dalam mengelola bumi.
Dengan menggunakan kedua macam hukum secara beriringan yakni hukum alam dan hukum Al-Qur’an, ditujukan antara lain
untuk menampakkan kejayaan Islam dan
mengalahkan segenap tata aturan ciptaan manusia (liyudlhirah ‘aláddini kullih) sebagaimana ditunjukkan oleh
kemenangan negeri Madinah atas negeri Mekah yang Jahiliyah (futuh Mekah).
Supaya tujuan itu bisa dicapai maka hukum Allah (Al-Qur’an) harus benar-benar
dijadikan undang-undang oleh para khalifah fil ardl dalam mengelola bumi.
Sedangkan Al-Qur’an sebagai bayyinát berfungsi memberikan penjelasan tentang apa-apa
yang dipertanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya sebagai bayyinát, Al-Qur'an harus
dijadikan
rujukan semua peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh membuat
aturan sendiri sebab sistem aturan produk akal manusia sering hanya
bersifat trial and error.
Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau pembeda antara yang haq dan yang báthill, antara muslim dan luar muslim, antara nilai yang
diyakini benar oleh mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufur.
sering
sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya, akan tetapi walaupun begitu, pasien tetap percaya bahwa resep itu benar
mustahil salah karena dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah kebenaran
otoritas. Demikian pula dengan
Al-Qur’an, ia a adalah resep dari Allah yang sudah pasti benar mustahil salah
karena Allah adalah Maha Benar. Dengan demikian walaupun ada beberapa ayat
Al-Qur;an yang untuk sementara waktu belum dapat difahami oleh ratio, tak apa
tetapi tetap harus dilaksanakan, sebab
kalau menunggu dapat memahaminya secara penuh bisa keburu mati.
Juga obat
dari dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter berpesan agar obat
tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis, sebab kalau tidak tepat aturan
dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak akan sembuh. Demikian pula dengan
Al-Quran sebagai obat, tidak selalu harus sejalan dengan perasaan (feeling)
kemauan (willing) dan ratio (thinking). Allah menghendaki agar seorang mukmin
mengamalkan seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali. Pemilahan dan pemilihan
ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan ayat yang lainnya dibiarkan adalah
sikap kufur (Nu’minu biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).
C.
Pengertian Hadis
Perkataan
hadis berasal dari bahasa Arab yang artinya baru, tidak lama, ucapan, jalan,
pembicaraan, dan cerita. Menurut istilah ahli hadis yang dimaksud dengan hadis
adalah segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, berupa ucapan,
perbuatan, dan takkir (persetujuan Nabi SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi
SAW. (Syamsuri, 2006: 60)
As-Sunah
atau dalam istilah lain Hadis Nabi, secara istilah adalah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau
ketetapan ,dll-nya. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi
kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk
menggali hukum syari’.
Alasan
mengapa Hadits di jadikan sumber hukum islam menurut :
Hidayatullah.Com–As-Sunah sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran,
tidak diragukan pengaruhnya di dalam dunia fiqih Islam, terutama pada masa para imam mujtahid dengan
berdirinya mazhab-mazhab ijtihad. Sebagai masa
kejayaan kajian ilmu hukum Islam di dalam dunia sejarah. Hal semacam ini
tidak pernah terjadi pada umat agama lain, baik di zaman dahulu atau sekarang.
Setiap orang yang mendalami mazhab-mazhab fiqih, maka akan mengetahui betapa
besar pengaruh As-Sunah di dalam penetapan hukum-hukum fiqih.
As-Sunah
atau dalam istilah lain Hadis Nabi, secara terminologi adalah segala sesuatu
yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau
ketetapan. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita
untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk
menggali hukum syari’.
Hadis
Nabi, walaupun dapat menjadi hujah secara independen (mustaqil), sebagaimana
juga Al-Quran, namun kedua kitab tersebut saling melengkapi dan melegitimasi
bahwa keduanya adalah hujah dan sumber hukum di dalam syari’at Islam.
D.
Macam-macam Hadist(Sunnah)
Sunnah
dibagi menjadi empat macam, yaitu:
• Sunnah
qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
• Sunnah
fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
• Sunnah
taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan
ataupun perbuatan orang lain
• Sunnah
hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak
sampai dikerjakan
Berdasarkan pada kuat lemahnya
hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima)
dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang
shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif.
E. Kedudukan
Hadits
Hadits sebagai sumber hukum
syariah, peran utama hadits dalam revitalisasi syariah adalah menjadi sumber
hukum syariah yang kedua setelah al-Qur’an. Dalam konteks ini perlu ditegaskan
dua hal:
Pertama, kehujjahan hadits sebagai
sumber hukum syariah. Yang dimaksud dengan kehujjahan al-hadits (hujjiyah
al-hadits), adalah keadaan hadits yang wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum
(al-dalil al-syar’i), sama dengan al-Qur’an, dikarenakan adanya dalil-dalil
syariah yang menunjukkannya. Menurut wahbah Az-Zuhaili, dalam kitabnya ushul
al-Fiqh al-Islami, orang yang pertama kali berpegang dalil-dalil ini, diluar
ijma’. adalah Imam Asy-Syafi’i dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-umm.
Dalil-dalil tersebut ada yang menunjukkan bahwa hadits adalah wahyu sebagaimana
al-Qur’an, dan ada yang menunjukkan wajibnya mengikuti hadits atau As-Sunnah.
Kedua, kedudukan (al-manzilah)
dan fungsi hadits terhadap al-Qur’an. Pada prinsipnya, fungsi hadits adalah
sebagai penjelasan (al-bayyan) dari al-Qur’an. Itulah yang dimaksud dengan
ungkapan As-Sunnah qadhiyah ‘ala Al-Kitab, yang terkenal di kalangan ulama
seperti disebut Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat juz IV/4. ungkapan
itu berarti As-Sunnah/hadits itu menjadi pemutus atau penentu makna al-Qur’an.
Sebab suatu ayat al-Qur’an dapat mengandung dua kemungkinan makna atau lebih,
maka hadits-lah yang kemudian menentukan satu makna di antara sekian makna yang
ada. Fungsi hadits sebagai penjelasan al-Qur’an didasarkan pada firman Allah
swt (artinya):
‘Dan Kami turunkan kepadamu
[Muhammad] al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl: 44).
Tiada syari’ah tanpa hadits sebagai
sumber hukum syari’ah ini sangat strategis bagi upaya revitalisasi syari’ah.
Karena sebagian besar hukum-hukum syariah bersumber pada hadits. Terlebih lagi,
hadits banyak menjadi dalil bagi berbagai hukum yang berkaitan dengan kehidupan
bernegara, misalnya pengaturan hubungan penguasa dan rakyat, hubungan negara
Islam dengan negara lain, struktur pemerintahan, pengangkatan para gubernur
(wali) dan hakim (qadhi), dan sebagainya. Dan juga berpegang pada hadits atau
sunnah rasul saw. terhadap hal-hal yang tidak dijelaskan al-Qur’an sebagai landasan
syari’ah.
Karena kedudukannya sebagai dasar
Islam yang kedua sesudah kitab suci al-Qur’an, maka tidaklah mengherankan kalau
Hadits Nabi mendapat perhatian yang paling besar dikalangan kaum muslimin.
Sungguh pun ada larangan Nabi supaya jangan menuliskan selain dari al-Qur’an,
sebagian nanti akan kita terangkan, untuk menjaga jangan sampai dicampur
adukkan dengan kitab suci al-Qur’an itu, tetapi ada saatnya beliau memberi izin
kepada beberapa sahabat yang cukup berhati-hati untuk mencatatkan hadits-hadits
itu.
Dalam kasus al-Qur’an, kita tahu
bahwa tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dan penulisannya. Jadi,
tidak ada keraguan akan otentisitas
al-Qur’an, lantaran Nabi sudah
menunjuk para pencatatnya sejak turunnya wahyu pertama yang ditugasi untuk
menghimpun dan menuliskannya. Tetapi praktek ini tidak diikuti dalam kasus
hadits, yang mendapat perlakuan berbeda.
Pentingnya hadits dan perananya
dalam berbagai masalah politik dan sosial telah menyebabkan berbagai kelompok
memperlihatkan kepekaan tertentu terhadapnya. Kepekaan ini mengakibatkan
tertundanya usaha penulisan hadits, meskipun ada perintah Nabi untuk melakukan
penulisan dan penyebarluasan hadits. Sayangnya, penundaan ini menciptakan
kerumitan bagi generasi berikutnya dalam melakukan penilaian hadist.
Sudah banyak komentar mengenai
Hadits, baik dari kalangan umat Islam maupun non Islam, baik yang membela
maupun yang menyerang dan ingin menghancurkannya. Semua itu ternyata semakin
menambah semaraknya kajian dan minat terhadap bidang hadits ini.
Yang jelas, terlepas dari semua
itu, para ulama’ dari berbagai golongan dan aliran, hampir tidak ada perbedaan
dalam memandang Hadits-hadits Nabi sebagai dasar dalam Syari’at Islam. Mereka
menjadikan Hadits sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas di dunia ini,
baik yang berkenaan dengan aspek ibadah
maupun mu’amalah dan akhlak. Karena Hadits yang berupa perkataan, perbuatan,
taqrir dan sifat Nabi saw.itu secara rinci telah menggariskan suatu manhaj bagi
kehidupan umat Islam, baik secara individu, keluarga, masyarakat maupun negara.
Imam asy-Syafi’i di dalam kitabnya
ar-Risalah mengemukakan pendapatnya, yang juga dinukil kembali oleh Imam
al-Baihaqi dalam kitabnya al-madkhal, “Sesungguhnya Allah swt. telah menerapkan
kedudukan Rasulullah saw.didalam agama dan menentukan juga kitab sucinya. Allah
swt.menjelaskan pula kedudukan Rasulullah saw. itu terhadap agaman islam,
sehingga diketahui kewajiban menaatinya dan haram bermaksiat kepadanya. Demikian
juga allah swt. telah menjelaskan dengan karunia-Nya, dengan mengiringi iman
kepada Rasul-Nya dengan iman kepada-Nya”. Firman Allah swt (Artinya),
“Maka berimanlah kamu kepada
Allah dan Rasul-rasul-Nya, dan janganlah kamu mengatakan, ‘Tuhan itu tiga’,
berhentilah (dari ucapan itu), (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah
Tuhan Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak”. (Q.S. an-Nisa’: 171).
Hadits adalah salah satu wahyu
tuhan yang disampaikan Allah kepada Nabi-Nya. Hadits itu merupakan salah satu
sendi atau pokok dari Syari’at Islam. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang
menunjukkan bahwa hadits ini merupakan salah satu pokok dari Syari’at Islam.
Oleh karenanya hadits itu wajib diikuti sebagiamana mengikuti al-Qur’an.
Demikian pula Allah telah memerintahkan kita untuk mentaati Rasul sebagaiman
mentaati Allah sendiri, baik terhadap perintah-perintahnya maupun larangannya
(Artinya).
“Katakanlah olehmu Muhammad: Kalau kamu
sekalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai
kamu serta mengampuni dosa-dosamu”.
Dari ayat-ayat tersebut diatas,
jelas bahwa Hadits-hadits Nabi itu kedudukannya dalam Syariat Islam sama dengan
al-Qur’an, artinya wajib diikuti dan diamalkan sebagaimana al-Qur’an. Dan merupakan hukum kedua setelah al-Qur’an,
sebagai penjelas al-Qur’an yang menjadi hukum utamanya.
Sebagai sumber hukum Islam, hadits
memegang peranan penting sebagai penjelas atas apa yang ada didalam al-Qur’an.
Umat Islam tidak akan pernah dapat menjalankan ketentuan hukum dan cara ibadah
tanpa melihat keterangan atau praktek yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
melalui hadits-hadits-nya. Hadits sebagaimana kita ketahui sebagai penjelasan
al-Qur’an, karena hukum dan kewajiban yang terdapat dalam al-Qur’an hanya
bersifat umum dan global, tidak rinci.
Rasul dalam menyampaikan risalah Allah kepada umatnya telah diberikan
Allah sifat-sifat yang luhur dan ilmu yang tinggi, sehingga seluruh tingkah
laku dan ucapannya sesuai dengan kehendak Allah, tidak dengan hawa nafsunya.
Sebagaimana firman Allah swt (Artinya).
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapanya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (an-Najm: 3-4)
Kehujjahannya berdasarkan ayat-ayat
al-Qur’an, didalam surat an-Nahl dijelaskan bahwa Rasulullah saw. diberi otoritas
oleh Allah subhanahuwata’ala sebagai mubayyin ajaran-ajaran yang terkandung
dalam al-Qur’an (Artinya).
“Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar
kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka,
dan supaya mereka memikirkan”. (an-Nahl: 44)
Kehujjahan sunnah berdasarkan
Hadits Nabi, orang-orang Islam yang kuat imannya tidak akan meragukan terhadap
kehujjahan sunnah, dan orang yang menerima al-Qur’an sebagai hujjah, secara
otomatis menerima sunnah sebagi hujjah dalam hukum-hukum Islam. Karena
al-Qur’an dan hadits tidak bisa dipisahkan. Barang siapa yang memisahkan
al-Qur’an dengan hadits berarti dia memisahkan Allah dan Rasul-Nya. Karena
Allah swt. dalam al-Qur’an telah mewajibkan semua orang untuk beriman kepada
Rasul-Nya, mengikuti perilakunya, menaati semua perintahnya dan meniggalkan
semua larangannya.
Hadits perintah Rasulullah untuk
menyampaikan hadits-haditsnya kepada orang lain.
“Ya Allah saksikanlah, maka hendaknya orang
yang hadir menyapaikan kepada orang yang tidak hadir, karena banyak orang yang
tidak mendengar langsung lebih pandai dari orang yang mendengar langsung”.
(H.R. Muslim)
F. Ijtihad
Pengertian ijtihad secara bahasa atau pengertian menurut bahasa, ijtihad
artinya, bersungguh-sungguh menggunakan tenaga dan pikiran. Sedangkan dalam
pengertian secara istilah, ijtihad ialah, menggunakan pikiran untuk menetapkan
hukum atas sesuatu perkara yang dalam al Qur’an dan Sunnah Rasulullah belum
dinyatakan hukumnya. Akan tetapi, pengertian tersebut sama sekali tidak berarti
bahwa dalam Al Qur’an dan Sunnah terdapat kekurangan, hanya saja manakala
beberapa masalah tidak ditetapkan hukumnya.
Menurut pengertian kebahasaan kata Ijtihad berasal dari bahasa Arab,
yang kata kerjanya “jahada”, yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh.
Menurut istilah dalam ilmu fikih, ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan
pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum
yang terkandung du dalam al Qur’an dan Hadis dengan syarat-syarat tertentu.
(Syamsuri, 2006: 62)
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al Qur’an
dan Hadis. Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang
zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah
kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu
mendapat petunjuk.”
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari
Baitullah, apabila hendak mengerjakan sholat ia dapat mencari dan menentukan
arah kiblat saat itu melalui ijtihad dengan mencurahkan pikirannya berdasarkan
tanda-tanda yang ada.
G.
Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu
•Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat.
Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi
Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara
dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama
yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
•Qiyas,yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan
menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya
untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok
masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat
23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak
diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul
karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
• Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas
lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima
untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu
perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak,
kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad.
Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau
keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal,
sedangkan barangnya dikirim kemudian.
•Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum.
Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi
kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat
dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal
ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
•Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan
menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau
haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman
keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan
seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga
mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
•Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah
ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum
tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau
belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan
sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah
bila tidak berwudhu.
•Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si
pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya
tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual
dan pembeli.
Kedudukan
dan fungsi Ijtihad
Kedudukan
ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al – Qur’an dan As-Sunah.
Berijtihad itu sangat berguna sekali untuk mendapatkan hukum syara’ yang
dalilnya tidak terdapat dalam Al – Qur’an maupun hadits dengan tegas.
Ditinjau
dari fungsi ijtihad, ijtihad itu perlu dilaksanakan :
a. Pada
suatu peristiwa yang waktunya terbatas, sedangkan hukum syara’ yang mengenai
peristiwa sangat diperlukan, dan juga tidak segera ditentukan hukumnya, maka
dikhawatirkan kesempatan menentukan hukum itu akan hilang .
b. Pada
suatu peristiwa diperlukan hukum syara’ di suatu daerah yang terdapat banyak
para ahli ijtihad, sedang waktu peristiwa itu tidak mendesak maka hal yang
semacam itu perlu adanya ijtihad, karena dikhawatirkan akan terlepas dari waktu
yang ditentukan.
c.
Terhadap masalah-masalah yang belum terjadi yang akan kemungkinan nanti akan
diminta tentang hukum masalah-masalah tersebut, maka untuk ini diperlukan
ijtihad.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sumber ajaran islam
ada tiga macam, yaitu Al-qur’an, hadits dan ijtihad. Al-qur’n sebagai sumber hukum Islam yang
pertama yaitu Al-qu’an berisi tentang semua kehidupan yang ada di alam,
perintah, akidah dan kepercayaan, akhlak yang murni, mengenai syari’at dan
hukum dan sebagai petunjuk umat Islam. Sedangkan Hadits itu sebagai sumber
ajaran islam karena dalam Dalil al-qur’an mengajarkan kita untuk mempercayai
dan menerima apa yang telah disampaikan oleh Rasul untu dijadikan sebagai
pedoman hidup. Selain itu dalam hadits juga terdapat pertnyataan bahwa
berpedoman pada hadits itu wajib, bahkan juga terdapat dalam salah satu pesan
Rasulullah berkenaan menjadikan hadist sebagai pedoman hidup setelah Al-qur’an
sebagai sumber yang pertama. Ijtihad sebagai sumber ajaran karena melalui
konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan didapatkan ketentuan hukumnya Dari
pemaparan makalah kami tersebut kita tahu bahwa sumber ajaran islam sangat
penting sebagai pedoman hidup, untuk itu hendaknya apabila kita melenceng dari salah
satu sumber ajaran tersebut, maka akan menjadikan hal yang fatal.
Daftar Pustaka
Amin,
Muhammad Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali, 2013
Didik
ahmad supadi dan sarjuni, Pengantar studi Islam, Semarang: Rajawali Pers, 2011
Mahfud,
Rois. Al-Islam PendidikanAgama Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011
Muhaimin,
dkk. Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, Jakarta: kencana, 2012
Musahadi
HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000
Nata,
Abuddin. Studi Islam komperehensif, Jakarta: Kencana 2011
No comments:
Post a Comment